Judul atikel ini tentu
semua setuju, kalau kita kaya harapannya adalah kebahagiaan. Kebahagiaan adalah
sasaran yang manusiawi, karena setiap orang pasti menginginkan kebahagiaan. Di
jalan raya kita melihat orang banyak berlalu lalang menuju ke suatu tempat
dengan berbagai macam kendaraan bahkan ada yang berjalan kaki beralaskan sandal
jepit, semuanya kelihatan terburu-buru itu semua adalah proses untuk menuju
pemenuhan kebutuhan hidup. Seperti telah diriwayatkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Apabila kalian telah selesai melakukan Sholat maka bertebarlah kalian mencari
rizki, dalam pandangan Islam memang kita disuruh untuk menjadi kaya, kita
memang dilarang hidup miskin sebab kemiskinan dapat mendekatkan kita ke
kekafiran. Pada zaman sekarang ini kita memang dituntut bekerja keras, memutar
otak membaca peluang bagaimana caranya untuk memenuhi kebutuhan hidup yang
semakin sulit dengan penuh persaingan. Kenapa kita menyekolahkan anak?
jawabannya adalah untuk mempersiapkan anak kearah kecerdasan, baik untuk
kecerdasan otak (Intelegensi) , Kecerdasan emosi(Emotional), kecerdasan Sosial
(Social) dan kecerdasan Agama (Relegi), semua tingkat kecerdasan tersebut akan
sangat berpengaruh pada kehidupan pribadi anak dalam mencapai kebahagiaan hidup
di dunia ini.
Bagaimana
menjadi Orang Kaya yang bahagia
Saat menulis artikel
ini, saya mencari Referensi tentang orang kaya bahagia, tapi tak satupun tulisan
atau artikel yang memuat orang kaya itu bahagia benar-benar bahagia, karena
banyaknya alasan. contohnya banyak orang kaya tapi justru karena kekayaannya dia
harus menyewa Satpam untuk pengamanan diri dan keluarganya, ada yang dalam
bepergian selalu ada body guard untuk melindungi keselematannya, ada yang
pasang kamera pengintai disetiap pojok rumahnya untuk kenyamanan diri dan
keluarganya, ada yang tidak bisa kemana-mana karena takut hartanya dirampok
atau, dan seterusnya….pokoknya rasa aman semakin jauh dari kehidupannya.
Mengapa saya menceritakan hal-hal yang terkait dengan Satpam, body guard, atau
alat pengaman lainnya, tentu dan pasti karena tidak adanya rasa aman, kalau
mereka rasa aman dan nyaman tidak mungkin mengadakan pengamanan diri atau
keluarganya. Bandingkan dengan orang yang tidak memiliki banyak harta tapi dia
tidak pernah merasa gelisah, terancam dan kesehariannya tenang-tenang saja.
Begitu juga dengan orang yang secara nyata bahwa dia orang miskin tapi malah
enak dan tidurnya amat nyenyak dan begitu bangun malah bersiul-siul dan santai
menikmati hidup dipagi hari. Dari uraian saya tadi saya tidak menyinggung
kebahagiaan tapi itulah yang saya perhatikan dalam kehidupan sehari-hari.
Bagaimana menurut anda ?
Nah
pada tulisan selanjutnya saya mencoba mengutip Bahagia
menurut para ilmuwan dan sedikit ada sangkut-pautnya dengan perkawinan.
Ternyata
menurut hasil riset para ilmuwan tersebut perkawinan merupakan salah satu
faktor pembuat bahagia, Ada 10 tips menjadi bahagia, yang sudah dibuktikan
melalui riset. Kesepuluh kunci kebahagiaan tersebut diberikan di bawah ini,
berikut skor yang menunjukkan tingkat kepentingan tiap kunci dalam mencapai
kebahagiaan pribadi.
1.
Earn more money... up to a point
(skor : 1/2)
Riset
menunjukkan bahwa uang memang bisa membeli kebahagiaan, tapi hanya sampai batas
tertentu saja. Setelah manusia bisa memenuhi kebutuhan utama - sandang, pangan,
papan - 'daya beli' uang terhadap kebahagiaan menjadi menurun.
Dari
riset ditemukan bahwa rata-rata orang kaya lebih bahagia daripada orang miskin.
Ada memang orang kaya yang tidak bahagia dan orang miskin yang bahagia, tapi
seorang kaya yang tidak bahagia tetap lebih bahagia jika kaya dibanding jika
miskin. Namun hubungan antara uang dan kebahagiaan tidak sesederhana itu.
Ternyata setelah kebutuhan minimal terpenuhi, yang menjadi kunci 'kebahagiaan'
adalah memiliki lebih daripada lingkungan sekitar atau memiliki status. Jadi
bukan jumlah absolut uang yang dimiliki, tapi status yang bersangkutan dengan
jumlah uang itulah yang membuat orang 'bahagia'. Gaji sejumlah X memberikan
kepuasan lebih apabila jumlah tersebut termasuk dalam posisi atas dalam
kelompok gaji di sebuah perusahaan, daripada jumlah yang sama apabila jumlah
tersebut termasuk posisi bawah.
2.
Desire less! (skor: 2)
Ternyata
nasehat para tetua kita untuk menahan diri sehingga kita merasa lebih bahagia
ada benarnya. Melalui sejumlah kuesioner para ahli menemukan bahwa orang-orang
yang cita-citanya berbeda terlalu jauh dengan kenyataan rata-rata merasa lebih
tidak bahagia dibanding dengan mereka yang mengharapkan hidup yang tidak
berbeda jauh dengan kenyataan.
Dalam
beberapa pol para ahli menanyai sejumlah orang untuk menuliskan daftar
barang-barang yang mereka butuhkan untuk hidup yang cukup baik. Ternyata setiap
orang masih tetap mempunyai daftar 'wish list' untuk bisa bilang bahwa hidup
mereka baik, walaupun mereka sudah punya barang-barang lebih dari orang lain.
3.
Don't worry if you aren't a genius
(skor: 0)
Penelitian belum bisa menemukan korelasi antara kecerdasan
dan kebahagiaan. Sepintas kelihatannya seharusnya orang yang pintar bisa lebih
mudah merasa 'lebih' dari sekelilingnya dan lebih mudah mendapatkan uang
sehingga lebih mudah merasa bahagia. Tapi ternyata kepintaran seseorang bukan
faktor penjamin kebahagiaan. Bisa jadi orang pintar lebih sering berharap
terlalu tinggi sehingga lebih mudah merasa kecewa dengan pencapaian yang kurang
dari pengharapan.
Lalu
dinyatakan pula bahwa ukuran kecerdasan yang digunakan selama ini mungkin
salah. Seharusnya bukan kecerdasan otak semata yang diukur, tetapi juga
kecerdasan sosial, yang bisa jadi lebih merupakan faktor penentu kebahagiaan.
4.
Make the most of your genes (skor:
5)
Setelah
melakukan penelitian terhadap 4000 lebih kembar dewasa selama bertahun-tahun,
seorang ilmuwan dari University of Minnesota menyimpulkan bahwa rasa nyaman
dalam hidup kita setengahnya disebabkan oleh apa yang terjadi pada hidup kita
saat itu, dan setengahnya lagi oleh 'modal' kebahagiaan, yang 90% nya
ditentukan secara genetis. Jadi tingkat kebahagian kita pada dasarnya
ditentukan oleh nenek-kakek kita, tetapi apakah kita akan lebih bahagia (lebih
bersikap positif) dari itu, atau sebaliknya, ditentukan oleh lingkungan dan
orang tua kita. Memang banyak penelitian menunjukkan bahwa kepribadian
berhubungan dengan kebahagiaan. Mereka yang lebih ekstrovert cenderung lebih
bahagia. Tapi tergantung lingkungan juga, karena di penjara orang-orang
introvert cenderung lebih bahagia.
5.
Stop comparing your looks with
others....... (skor: 1)
Menurut
penelitian, ternyata orang-orang yang berwajah cantik dan tampan merasa lebih
bahagia daripada orang pada umumnya. Mungkin ini karena kehidupan ini lebih
ramah pada yang cantik atau tampan. Atau mungkin kecantikan adalah refleksi
dari kesehatan dan orang yang lebih sehat biasanya lebih bahagia. Tapi menurut
para ilmuwan, tidak perlu harus secantik Britney Spears untuk menjadi bahagia.
Asalkan kita merasa diri berpenampilan menarik, kita bisa bahagia. Sayangnya
menurut penelitian banyak sekali orang yang merasa minder, dan menilai dirinya
lebih buruk daripada penilaian orang lain terhadapnya. Jadi untuk bahagia,
sebaiknya jangan berpikir kita ini buruk rupa dan jangan membandingkan diri
dengan para model!
6.
Make friends and value them........
(skor: 2 1/2)
Berdasarkan
riset terhadap kaum miskin di Calcutta dan para mahasiswa kelas menengah, para
ilmuwan menyimpulkan bahwa hubungan sosial punya andil besar dalam kebahagiaan
seseorang. Semakin seseorang punya dukungan sosial dari teman dan keluarga, semakin
ia bahagia. Oleh karena itu gelandangan di India lebih bahagia karena punya
kelompok lebih besar, dibanding dengan gelandangan di Amerika.
7.
Get married.... (skor: 3)
Hasil
riset sebuah tim peneliti dari Amerika terhadap laporan-laporan dari berbagai
negara menunjukkan bahwa orang-orang yang menikah cenderung lebih bahagia
dibandingkan dengan yang melajang. Apakah itu berarti perkawinan membawa
kebahagiaan, ataukah umumnya orang-orang bahagialah yang menikah? Memang bisa
dua-duanya, akan tetapi umumnya orang bisa menjadi lebih bahagia dengan
menikah. Perkawinan memberikan efek positif yang lebih besar dibanding dengan
hidup bersama tanpa menikah. Mungkin ini disebabkan karena perkawinan
memberikan ketenangan dan keamanan yang lebih besar dibandingkan dengan hidup
bersama tanpa ikatan.
8.
Find God (or a believe system)....
(skor: 1 1/2)
Berbagai
penelitian ilmiah yang dikumpulkan sebuah tim dari North Carolina menunjukkan
bahwa orang-orang yang mempunyai agama atau kepercayaan tertentu umumnya merasa
lebih bahagia, atau setidaknya punya lebih banyak emosi positif, dibandingkan
dengan yang tidak. Menurut mereka mempunyai kepercayaan menyebabkan orang
merasa punya tujuan dalam hidup. Efek paling besar terlihat dalam masa-masa
sulit. Mereka yang percaya sesuatu biasanya bisa lebih mudah menerima atau
mengatasi kesulitan tersebut.
Sebuah
kepercayaan juga sangat membantu mengatasi ketakutan terhadap kematian. Selain
itu, agama dan kepercayaan biasanya juga membawa dukungan sosial dari kelompok.
Tetapi yang lebih penting, kelompok ini juga memberikan kesempatan kepada
individu untuk 'memberi' yang ternyata memberikan kepuasan yang jauh lebih
besar daripada sekedar menerima.
9.
Do someone a good turn... (skor: 1
1/2)
Beberapa
studi menemukan bahwa ada korelasi antara tingkah laku altruistik dan
kebahagiaan. Semakin banyak seseorang berderma, semakin bahagia dia. Belum
jelas juga, apakah itu menunjukkan bahwa berderma dan berbaik hati membuat
orang bahagia, ataukah orang bahagia lebih banyak berderma. Mungkin keduanya
betul. Semakin bahagia seseorang semakin gampang memberi. Tetapi ilmuwan
menyatakan bahwa pada akhirnya efek kumulatif dari tingkah laku yang dermawan
membuat seseorang lebih bahagia.
10.
Grow old gracefully...... (skor:
1/2)
Ternyata
menjadi tua itu tidak seburuk yang dikira orang. Menurut hasil beberapa riset,
orang-orang tua punya emosi positif sebanyak orang muda, tetapi mereka punya
lebih sedikit emosi negatif dibanding orang muda. Mengapa orang-orang tua lebih
bahagia daripada orang muda? Kemungkinan semakin tua kita semakin belajar mengendalikan
emosi dan memfokuskan diri pada hal-hal yang membuat bahagia. Atau orang tua
sudah belajar untuk menjadi lebih realistis dalam bercita-cita.
Jadi
begitulah, rahasia kebahagiaan menurut para ilmuwan seperti yang diungkap
majalah The New Scientist. Kalau diurutkan menurut skor, maka orang bisa
menjadi bahagia kalau: 1. punya 'gen bahagia', 2. menikah, 3. punya banyak
teman, 4. tidak bercita-cita terlalu tinggi, 5. suka berbuat baik, 6. beragama
atau berkepercayaan, 7. berpenampilan menarik, 8. berduit, 9. tua dan akhirnya
10. cerdas. Faktor-faktor ini bisa menjelaskan mengapa negara-negara yang
penduduknya terbahagia di dunia (Nigeria, Meksiko dan Venezuela) bukanlah
negara-negara maju dan makmur.
Yang
Agak sedikit kontroversial menurutku adalah betapa pentingnya faktor genetis
menurut para ilmuwan, ini berarti mereka yang nenek kakeknya memang susah
tertawa kemungkinan besar akan susah tertawa pula. Mungkinkah?. Tapi jelas ini
bukan merupakan patokan mati, lingkungan dan kultur jelas mempengaruhi
faktor-faktor di atas. Jadi, apakah hidup lajang dari orang-orang “barat” yang
tidak mengalami tekanan sosial karena kelajangannya lebih bahagia dibanding
para lajang dari orang-orang “timur”? Mungkin, tapi bisa jadi tidak demikian,
karena umumnya kultur timur lebih “hangat” dalam hubungan sosial dibanding
kultur barat, maka yang di timur mungkin tetap lebih bahagia. Itu baru sebatas
mungkin.
Hasil
studi berikutnya adalah sebuah studi di Australia tanggal 3 October 2002 menyatakan
bahwa perkawinan membuat pria dan wanita bahagia. Ini bertentangan dengan studi
yang dilakukan pada tahun 1970 yang menyatakan bahwa wanita lebih bahagia
ketika lajang daripada ketika menikah, karena tingkat stres yang bertambah
ketika berkeluarga. Tetapi pada edisi 22 Desember 2003, BBC News menampilkan
hasil studi dari Queen Mary University yang menyimpulkan bahwa pria menikah
lebih punya resiko mengalami problem kesehatan dibandingkan dengan pria lajang.
Sebaliknya wanita lajang lebih punya resiko mengalami gangguan kesehatan mental
daripada wanita menikah!
Dari
hasil studi-studi tersebut belum dapat mengungkap bagaimana sebenarnya “bahagia”
dari sisi ilmiah. Maka studi-studi ilmiah ini pada akhirnya buatku hanya jadi
tambahan pengetahuan saja. Sementara itu bisa kita Tanya pada diri kita
masing-masing, bahagiakah aku?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar